Skip to main content

Makalah: Muzaraah



Tugas Individu                                                                       Dosen Pengampu
Fiqih Muamalah                                                                     Sa’adah, S.Ag, MH
                                              

Muzara’ah
OLEH:
Maria Ulfah (1301160280)






INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
           Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini.
 Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan menjadi suatu kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara permasalahan yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk kerjasama bagi hasil. Dari permasalahan di atas Islam mempunyai solusi salah satunya memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem muzara’ah.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari muzara’ah?
2.     Dasar hukum atau dalil dari sistem muzara’ah?
3.    Hikmah dari Muzara’ah?
                           



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[1]
Menurut istilah, muzara’ah didefinisikan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut:
1.    Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah,
عَقْدٌ عَلىَ الزَّرْعِ بِبَعْضِ الْخَارِجِ مِنَ الْأَرْضِ
akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”
2.    Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah,
أَنْ يَدْفَعَ صَاحِبُ الْأَرْضِ الصَّالِحَةِ الْمُزَارَعَةِ أَرْضَهُ لِلْعَامِلِ الّذِيْ يَقُوْمُ بِزَرْعِهَا وَيُدْفَعُ لَهُ الْحُبَّ
“pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit
3.    Menurut Malikiyah, muzara’ah ialah,
الشِّرْكَةُ فِى الْعَقْدِ
“bersekutu dalam akad”
Lebih lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara’ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan atau barang-barang perdagangan.
4.    Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah ialah:
اكْتِراَءَ الْعَامِلِ لِيَزْرَعَ الْأَرْضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
                                                                                                                
“seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
5.      Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa muzara’ah ialah,
عَمَلُ الْعَامِلِ فِى الْأَرْضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْمَالِكِ.
“pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”

Dari beberapa pendapat para ulama di atas, dapat diketahui mengenai defiinisi dari muzara’ah, yaitu suatu perjanjian kerja sama dalam pertanian antara dua pihak yaitu dari pihak pengelola tanah dan pemilik tanah dimana pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Sedangkan bibit atau modal dikeluarkan dari pemilik tanah.[2]

B.   Dasar Hukum Muzara’ah
1.    Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
إِنَّ النَّبِيَّ ص.م لَمْ يُحَرِّمِ الْمُزَارَعَةُ وَلَكِنْ أَمَرَ أَنْ يَرْفُقَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضِ قَوْلِهِ مَنْ كَانَتْ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
 “sesungguhnya Nabi SAW menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh di tahan saja tanah itu.”
2.    Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan al-Nasa’I dari Rafi’I r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda:
إِنَّمَا يَزْرَعُ ثَلاَثَةٌ رَجُلٌ لَهُ أَرْضٌ فَهُوَ يَزْرَعُهَا وَ رَجُلٌ مُنِحَ أَرْضًا فَهُوَ يَزْرَعُهَا وَ رَجُلٌ اسْتَكْرَى أَرْضًا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ (رواه أبو داود والنسائ)

“yang boleh bercock tanam hanya tiga macam orang: laki-laki yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya dan laki-laki yang menyewa tanah dengan mas atau perak.”
3.    Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Imam Abu Hanifah), Imam Malik, Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa muzara’ah dibolehkan. Hsl itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jama’ah dari Ibn Umar bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan ahli khaibar dengan setengah dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, muzara’ah dapat dikategorikan perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja dapat terpenuhi.[3]

C.       Rukun dan Syarat Muzara’ah
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah di anggap qabul.
Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu:
1.      Tanah
2.      Perbuatan pekerja
3.      Modal
4.      Alat-alat untuk menanam.
Sedangkan syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1.     Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3.      Tujuan akad
Akad dalam muzara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
4.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu;
a.       Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
b.      Hasil adalah milik bersama
c.       Bagian antara pekerja dan pemilik tanah adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila pemilik bagiannya padi kemudian pekerja bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah
d.      Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
5.      Hal yang berkaitan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
a.       Tanah tersebut dapat ditanami,
b.      Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
6.      Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah,
a.       Waktunya telah ditentukan,
b.      Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 1 tahun misalnya.
c.       Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
7.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah. Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad.[4]

D.  Hukum Muzara’ah
a.       Hukum Muzara’ah Sahih Menurut Hanafiyah
 Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
1.      Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2.      Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3.      Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
Antara lain di dasarkan pada hadis.
“kaum mislimin berdasarkan syarat di antara mereka.” (HR. Hakim dari Anas dan Siti Aisyah).
4.      Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5.      Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6.      Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan  akad didasarkan pada waktu.
b.      Hukum Muzara’ah Menurut Hanafiyah
Di antara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara’ah fasid adalah:
1.      Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
2.      Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
3.      Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekrjaannya.[5]
c.       Adapun beberapa ulama yang melarang ber Muzara’ah hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang di antara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu itu mereka menanamkan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui.[6] Misalnya, dimana bentuk muzara’ah yang dilarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan. Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian presentase.

E.      Berakhirnya Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara’ah habis:
a.       Habis masa muzara’ah.
b.      Salah seorang yang akad meninggal dunia.
c.       Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah, di antara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain:
1.      Tanah garapan terpaksa di jual, misalnya untuk membayar utang.
2.      Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT, dan lain-lain.[7]

F.   Hikmah Muzara’ah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakan, sehingga banyak tnah yang dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apapun.
Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan/tanah) tapi  ia tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya, ada seseorang yang memiliki keterampilan di dalam bercocok tanam tetapi ia tidak memiliki lahan atau tanah. Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar bisa bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Dalam istilah Biologi bisa disebut dengan  simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan perkebunan semakin berkembang.
Muzara’ah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan tanah yang dibiarkan tidak ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. Dengan muzara’ah, maka akan mengurangi tingkat pengangguran, dan terciptanya stabilitas ekonomi.


BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Muzara’ah yaitu suatu perjanjian kerja sama dalam pertanian antara dua pihak yaitu dari pihak pengelola tanah dan pemilik tanah dimana pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Sedangkan bibit atau modal dikeluarkan dari pemilik tanah.
Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan/tanah) tapi  ia tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya, ada seseorang yang memiliki keterampilan di dalam bercocok tanam tetapi ia tidak memiliki lahan atau tanah. Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar bisa bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Dalam istilah Biologi bisa disebut dengan  simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan perkebunan semakin berkembang.
Muzara’ah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan tanah yang dibiarkan tidak ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. Dengan muzara’ah, maka akan mengurangi tingkat pengangguran, dan terciptanya stabilitas ekonomi.


DAFTAR PUSTAKA
Rasjid ,Sulaiman.  Fiqh Islam(Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Syafe’i, ,Rachmat. Fiqih Muamalah. Jakarta: Pustaka Setia, 2001.



[1] Prof.Dr.H. Hendi Suhendi,2010. Fiqh Muamalah. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada. Hlm.153.
[2] Prof.Dr.H. Hendi Suhendi,2010. Fiqh Muamalah. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada. Hlm.156.
[3] Prof.Dr.H. Rachmat Syafe’I,M.A, 2001. Fiqih Muamalah. Jakarta:Pustaka Setia. Hlm.207.
[4] Prof.Dr.H. Hendi Suhendi,2010. Fiqh Muamalah. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada. Hlm.159.
[5] Prof.Dr.H. Rachmat Syafe’I,M.A, 2001. Fiqih Muamalah. Jakarta:Pustaka Setia. Hlm.211.
[6] H. Sulaiman Rasjid,2013.  Fiqh Islam(Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algesindo. Hlm.302.
[7] Prof.Dr.H. Rachmat Syafe’I,M.A, 2001. Fiqih Muamalah. Jakarta:Pustaka Setia. Hlm.211.

Comments

Popular posts from this blog

lirik lagu Rumania: Nicolae Guta si Nicoleta Guta

Pertama kali dengar lagu ini emang kedengarannya seperti lagu ala-ala Timur Tengah gitu,, tapi ternyata ini lagu dari Rumania, yang nyanyikan oleh  Nicolae Guta si Nicoleta Guta. Duet antara ayah dan anak ini sukses membuat orang terpukau kalau lagi dengar lagunya. lagunya kereennn bangeettt lohh.... Nah, buat yang mau belajar menyanyikan lagunya, saya kasih liriknya nih. Check This out. Berikut lirik lagu tersebut : Mi-am ascultat inima shi am facut ce mi-a spus ea. Ya mas cultat inima sha facut E cea mai mare greseala din viata mea !!! Mi-am ascultat inima shi am facut ce mi-a spus ea. E cea mai mare geseala din viata mea !!! Refren: Greseala mea ca te-am iubit prea mult. Pacatul tau ca m-ai mintit de la inceput. M-ai tradat iubirea mea candmi-a fost viata mai greaaaaaaaaa Mi-am ascultat sufletul nu stiam cine ejti tu de stiam ce zace in tine nu iti mai dadeam iubire. Destia ce zan te nee nuos mai dedan tyu Mi-am ascultat sufletul nu stiam...

KASAD: PROXY WAR

Banjarmasin, 26 Maret 2015 "Proxy War" Kepala Staf Angkatan Darat Jendral TNI Gatot Nurmantyo hari ini melakukan kunjungan ke Kalimantan Selatan dan sekaligus menyempatkan diri berhadir dalam acara "Bincang-bincang  Kepala Staf Angkatan Darat dengan Unsur Pemda dan Seluruh Komponen Bangsa se Kalimantan Selatan" Selasa siang di Gedung Sultan Suriansyah. ditemani moderator seorang Guru Besar dari kampus IAIN Antasari Banjarmasin, Prof. Dr. Mujiburrahman, M.A beliau menyampaikan beberpaa materi tentang wawasan kebangsaan dan pentingnya peran berbagai komponen pertahanan Negara dalam menghadapi maraknya "Proxy War". proxy War seperti yang selama ini sedang Booming diperbincangkan diberbagai kalangan masyarakat.   Saudara, BERTAMBAH pesatnya populasi penduduk dunia yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, air bersih, dan energi akan menjadi pemicu munculnya konflik-konflik baru. Indonesia sebagai salah satu negara ekuator yang memilik...